Selasa, 01 Desember 2009

kumpulan cerita indah – kisah indah – cerita seru – kisah seru – cerita menarik – kisah menarik – cerita inspirasi – kisah inspirasi – cerita teladan – kisah teladan
Posted on Desember 7, 2008 by silahkan add facebook & friendster saya: ainuamri2@yahoo.com (Amri)

kumpulan cerita indah – kisah indah – cerita seru – kisah seru – cerita menarik – kisah menarik – cerita inspirasi – kisah inspirasi – cerita teladan – kisah teladan

=========================================
diriwayatkan al-Khathib dan Abu Na’im serta selainnya dari Mu’adz bin Jabal r.a. yang berkata, “Pelajarilah ilmu, sebab mempelajarinya karena Allah adalah ketakwaan, mencarinya ibadah, mengulanginya tasbih, mengkajinya jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu sedekah, mengorbankannya kepada yang berhak adalah kurban (kedekatan kepada Allah). Dengan ilmu, Allah dikenal dan disembah serta diesakan, dengan ilmu halal dan haram diketahui, dan dengan ilmu hubungan rahim disambung.

==========================================

Imam Malik berkata, “Suatu ketika Abu Hurairah diundang ke sebuah walimah. Ia datang, tapi tak diizinkan masuk. Akhirnya beliau pulang dan mengganti baju. Ia datang lagi, dan kali ini diizinkan masuk. Ketika makanan dihidangkan, ia memasukkan lengan bajunya ke hidangan tersebut. Orang-orang serentak menyalahkan. Tapi beliau menjawab, ‘Baju inilah yang diizinkan masuk, makanya dialah yang seharusnya makan.”‘ Ini diceritakan Ibnu Mazin at-Thalithaly dalam kitabnya.

===========================================

Al-Muzany bercerita, ‘Aku mendengar Imam Syafi’i mengatakan bahwa siapa yang belajar Al-Qur’ an, maka nilai dirinya tinggi. Siapa yang mempelajari masalah fikih, maka martabatnya menjadi mulia. Siapa yang mempelajari bahasa, maka perasaannya menjadi halus. Siapa yang mempelajari ilmu hitung, maka pandangannya luas. Siapa yang menulis hadits maka hujahnya akan kuat. Dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka ilmunya tidak berguna baginya.” Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i dengan versi yang berbeda-beda.

========================================

Mu’awiyah bertutur bahwa ia dengar al-A’masy berkata, “Barangsiapa tidak menuntut ilmu hadits, aku gemas untuk menamparnya dengan sandalku.” Hisyam bin Ali bertutur bahwa ia mendengar al-’Amasy berkata, “Jika kamu lihat seorang tua yang tidak membaca Al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka tamparlah dia karena dia termasuk syuyuukhul-qamraa \” Abu Shalih bertanya kepada Abu Jakfar, “Apa maksud syuyuukhul-qamraa itu?” Jawabnya, “Orang-orang tua yang lanjut usia yang berkumpul pada malam-malam terang bulan, mengobrol tentang orang lain sedang tak satu pun dari mereka dapat wudhu dengan baik.”

==========================================

Al-Muzany berkata, “Imam Syafii bila melihat seorang tua maka ia menanyainya tentang hadits dan fikih. Kalau dia tahu sesuatu, maka dipujinya. Tapi bila tidak, maka ia berkata kepadanya,’ Semoga Allah SWT tidak memberimu ganjaran kebaikan atas dirimu dan Islam. Engkau telah menyia-nyiakan dirimu dan menyia-nyiakan Islam.’

=========================================

Alkisah seorang khalifah Bani Abbas sedang bermain catur. Ketika pamannya meminta izin masuk, ia mengizinkannya setelah menutup meja catur. Begitu sang paman duduk, ia bertanya, “Paman, apakah engkau telah membaca Al-Qur”an?”
Jawabnya, “Tidak.”

Ia bertanya lagi, “Apakah engkau telah menulis sebuah hadits?”
“Tidak,” jawabnya.

“Apakah engkau telah membaca fikih dan perbedaan pendapat para ulama?” tanyanya.
Kembali ia menjawab, “Tidak.”

Sang khalifah bertanya lagi, “Apakah engkau telah mempelajari bahasa Arab dan sejarah?”
Ia menjawab, “Tidak.”

Setelah mendengar semua jawaban ini, sang khalifah berkata, “Bukalah meja ini dan lanjutkan permainan!”

Di sini sopan santunnya dan rasa malunya kepada sang paman hilang. Teman bermainnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau membuka meja catur itu di hadapan orang yang patut kau hormati?”
Sang khalifah berkata, “Diamlah! Di sini tak ada siapa-siapa.”

=============================================

Ru’bah Ibnul ‘Ajjaj bercerita, “Pernah aku mendatangi an-Nassabah al-Bakry, lalu ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Jawabku, ‘Aku Ibnul ‘Ajjaj.’

la berkata, ‘Aku tahu. Mungkin kamu seperti orang-orang yang bila aku diam mereka tidak menanyaiku, dan bila aku berbicara mereka tidak paham.’ Aku berkata, ‘Semoga aku tidak seperti itu.’

Ia bertanya, ‘Siapa musuh-musuh muru “ah,( ‘kewibawaan’)?’
Aku berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku!’

Ia menjawab, ‘Teman-teman yang jahat. Bila melihat kebaikan temannya, mereka menutup-nutupinya. Tapi bila melihat keburukan, mereka menyebarkannya.’

Ia melanjutkan, ‘Ilmu itu punya aib, kemalangan, dan cacat. Aibnya adalah melupakannya, kemalangannya adalah berdusta dengannya, dan cacatnya adalah menyebarkannya kepada orang yang tidak layak.’”

=======================================

Ibnu Wahb berkisah, “Saat itu aku sedang berada bersama Imam Malik bin Anas, membaca buku di hadapannya dan mempelajari ilmu. Ketika tiba waktu shalat Zuhur atau Asar, aku kumpulkan buku-bukuku dan aku bangkit untuk shalat sunah. Imam Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan ini?’ Aku menjawab, Aku hendak shalat.’ la berkata, Aneh sekali! Shalat yang hendak kamu lakukan itu tidaklah lebih afdhal daripada pelajaran itu, jika niatnya benar.’”

=====================================
Ar-Rabi’ mendengar Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih afdhal daripada shalat sunah.”

Sufyan ats-Tsaury berkata, “Tidak ada amal yang lebih afdhal daripada menuntut ilmu agama selama niatnya lurus.”

Seorang pria bertanya kepada al-Mu’afy bin Imran, “Mana yang lebih kamu sukai, aku shalat sepanjang malam atau aku menulis hadits?” la menjawab, “Kamu menulis hadits lebih aku sukai daripada kamu shalat dari awal sampai akhir malam.”

la berkata juga, “Menulis satu hadits lebih aku sukai daripada shalat satu malam.”

Ibnu Abbas berkata, “Menelaah ilmu beberapa saat lebih aku senangi daripada shalat sepanjang malam.”

============================================

Dalam Masa ‘il-nya, Ishaq bin Manshur bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang maksud perkataan Ibnu Abbas di atas, “Ilmu apa yang dimaksudnya?” Ahmad menjawab, “Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam agama mereka.” Ishaq bertanya lagi, “Tentang wudhu, shalat, puasa, haji, talak, dan sejenisnyakah?” la menjawab, “Benar.”

Ishaq berkata lagi, “Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku, ‘Maksudnya memang seperti yang dikatakan Ahmad itu.’”

Abu Hurairah berkata, “Aku lebih senang duduk sesaat untuk memperdalam ilmu agamaku daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai pagi.”

Ibnu Abdil Barr menyebutkan dari hadits Abu Hurairah, “Segala sesuatu punya pilar. Dan pilar agama ini adalah ilmu. Allah SWT tidak diibadahi dengan sesuatu yang lebih afdhal dari memperdalam ilmu agama.”

Muhammad bin Ali al-Baqir berkata, “Seorang ulama yang ilmunya bermanfaat lebih baik dari seribu abid/orang yang gemar beribadah.” la berkata juga, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah manusia lebih afdhal daripada ibadahnya seribu abid.”

=================================================
dikatakan seorang penyair,

“Sungguh aneh aku rindu kepada mereka
Dan kutanya orang yang kutemui tentang mereka padahal mereka bersamaku
Mataku mencarinya padahal mereka berada di bagian hitamnya
Sedang hatiku merindukan mereka padahal mereka ada di antara tulang
rusukku.”

Yang lain berkata,

“Sungguh aneh seseorang mengadu kejauhan kekasihnya
apakah seorang kekasih itu dapat hilang dari hati kekasihnya?
Bayanganmu di mataku dan sebutanmu di bibirku
tempat tinggalmu di hatiku, maka bagaimana mungkin kamu akan hilang dariku.”

===================================================
Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143
H) berkata, “Apabila anda melihat seorang
pemuda yang tumbuh dewasa bersama
Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar
bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu
darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh
dewasa sesuai dengan masa kanaknya”.

Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan,
“Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan
orang alim maka akan selamat, tetapi apabila
bergaul dengan yang lainnya maka akan
terpengaruh

Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H)
berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda
apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul
dengan pelaku sunnah”

Demikian juga yang dikatakan oleh as-
Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk
kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan
oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah”

==========================================

Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah
setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in.
Barangsiapa yang mencela salah satu di antara
mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai
karena bertentangan dengan nash dan ijma atas
kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul
bid’ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij
yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar